Sapta Wara Artinya
Seseorang belum mencapai kesempurnaan takwa kecuali dengan menghindari segala bentuk perkara yang syubhat dan dosa-dosa kecil. Wara' merupakan perbuatan untuk menghindari segala hal yang tidak pantas, tidak sesuai, dan tidak perlu. Berhati-hati (menghindari) terhadap hal-hal yang diharamkan dan dilarang.
Seorang spiritualis mengatakan bahwa wara' adalah, " Tidak pernah lalai dari Allah Swt. meski hanya sekejap." Setiap menjalankan roda kehidupan seseorang yang beriman tanpa sekejap pun selalu mendekatkan diri dan selalu ingat pada Allah Swt. Umat Islam sudah mengenal wara' sejak masa awal Islam yang biasa dikenal dengan istilah " Khair al-Qurun " ( kurun terbaik ).
Pada masa tabi'in dan tabi'it tabi'in, wara' menjadi dambaan paling tinggi bagi setiap mukmin. Pada masa itu dikisahkan saudara perempuan Bisyr al-Hafi mendatangi Imam Ahmad bin Hanbal lalu berkata, " Wahai Imam, sesungguhnya kami biasa menggulung wol di loteng rumah kami. Lalu lewatlah di dekat kami lentera yang dibawa para petugas negara sehingga cahayanya mengenai kami. Apakah kami boleh tetap menggulung wol dengan memanfaatkan cahaya lentera para petugas itu?" Kemudian Imam Ahmad menjawab, " Siapakah gerangan engkau, wahai wanita afakillah?" Wanita itu menjawab, " Aku adalah saudara perempuan dari Bisyr al-Hafi." Maka seketika itu juga Imam Ahmad menangis lalu berkata, " Dari rumah kalianlah muncul sifat wara' yang benar, jadi janganlah engkau menggulung benang menggunakan cahaya lentera para petugas itu."
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menghindari sesuatu yang belum jelas pada masa kini tidaklah mudah, urusan makanan yang halal dalam sarapan pagi di hotel bintang lima juga masih mengkhawatirkan. Makanan yang halal dan haram ( mengandung babi ) telah dipisahkan, namun apakah perlengkapan dapur seperti pisau, wajan, tempat cuci piring telah terpisah?
Penulis khawatir hal itu masih tercampur, maka lebih baik hindarilah makanan yang belum tahu persis ke halalannya. Apalagi urusan mencari rezeki, tentu bagi seorang beriman hendaknya mendapatkannya dengan cara halal dan thoyyib. Sebetulnya seorang pemimpin muslim mempunyai tanggung jawab dalam mengatur dengan membuat regulasi agar masyarakat merasa nyaman, tidak khawatir pada sesuatu yang syubhat dan jelas membedakan yang halal dan haram. Seorang pemimpin hendaknya memberi petunjuk kepada rakyatnya ke jalan kebenaran, membimbing mereka pada kebaikan dan menerangi alam semesta dengan cahaya Islam. Dengan sikap wara' seseorang pemimpin maupun rakyat biasa akan selamat dan tidak tergelincir pada kehinaan.
Dikisahkan pada masa Nabi Saw. di Madinah tiada pemuda yang lebih kaya dari Malik bin Tsa'labah al-Anshari. Saat itu sang pemuda mendengar Nabi Saw. membacakan firman Allah Swt. " Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkan di jalan Allah Swt, maka beritahukan kepada mereka, bahwa mereka akan mendapat siksa yang pedih." ( QS. at-Taubah : 34 ).
Seketika ia pingsan mendengar ayat tersebut. Saat sadar ia menemui Nabi Saw. dan bertanya, " Demi Ayah dan Ibuku, Ya Rasulullah, ayat ini untuk orang yang menimbun emas dan perak?"
Nabi Saw. menjawab, " Ya Malik."
Maka Malik pun berkata, " Demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, sungguh pada sore hari ini, Malik tak akan punya lagi dirham dan dinar."
Benar, sebelum sore tiba ia telah menyedekahkan seluruh hartanya.
Kisah ini memberikan pelajaran bagi kita semua, seorang Malik yang sangat khawatir terhadap penggunaan hartanya tidak di jalan Allah Swt. dan setelah memperoleh konfirmasi dari utusan-Nya maka seluruh hartanya ia sedekahkan. Hal ini menjadi bertolak belakang dengan kondisi masyarakat saat ini yang cenderung menjadi budak materialis, lebih senang berbuat dari hawa nafsu dan syahwatnya. Jika seseorang berhasil mendapatkan kemenangan dalam tertarungan pilkada, niscaya ia telah banyak mengorbanan hartanya ( ongkos yang mahal untuk meraih posisi kemenangan ).
Apakah ia akan bersikap Wara' dalam menjalankan fungsinya? Tentu jawabannya sulit sekali. Ongkos demokrasi yang mahal dan kecenderungan kehidupan masyarakat yang materialis, tentu kurang sesuai dengan falsafah negeri ini. Artinya ada yang kurang pas norma-norma kehidupan ini, untuk itulah sekiranya sikap elite dapat mengevaluasi terhadap tata kehidupan maupun system demokrasi yang saat ini dipilih.
Menghadirkan system demokrasi tentu bertujuan untuk menjadikan rakyat makmur, karena pemimpin dipilih rakyat langsung dengan harapan akan membela kepentingan pemilihnya. Semoga para calon pemimpin atau pemimpin yang beriman dapat bersikap wara' agar membawa kemakmuran dan kebaikan dunia akhirat.
Sekretaris Majelis Pakar DPP PPP 2020-2025
Ketua Dewan Pembina HIPSI ( Himpunan Pengusaha Santri Indonesia)
Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggungjawab penulis. (Terimakasih - Redaksi)
Saudaraku, tahukan apa itu wara’? Kata yang sederhana, namun jika sifat ini dimiliki, maka seseorang akan mendapatkan banyak kebaikan. Wara’ secara sederhana berarti meninggalkan perkara haram dan syubhat, itu asalnya. Para ulama seringkali memaksudkan wara’ dalam hal meninggalkan perkara syubhat dan perkara mubah yang berlebih-lebihan, juga meninggalkan perkara yang masih samar hukumnya. Mari kita lihat sejenak mengenai sifat wara’ ini.
Mengenai keutamaan sifat wara’ telah disebutkan oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya,
فضل العلم خير من فضل العبادة وخير دينكم الورع
“Keutamaan menuntut ilmu itu lebih dari keutamaan banyak ibadah. Dan sebaik-baik agama kalian adalah sifat wara’” (HR. Ath Thobroni dalam Al Awsath, Al Bazzar dengan sanad yang hasan. Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib 68 mengatakan bahwa hadits ini shahih lighoirihi).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyampaikan nasehat berharga pada Abu Hurairah,
يَا أَبَا هُرَيْرَةَ كُنْ وَرِعًا تَكُنْ أَعْبَدَ النَّاسِ وَكُنْ قَنِعًا تَكُنْ أَشْكَرَ النَّاسِ وَأَحِبَّ لِلنَّاسِ مَا تُحِبُّ لِنَفْسِكَ تَكُنْ مُؤْمِنًا وَأَحَسِنْ جِوَارَ مَنْ جَاوَرَكَ تَكُنْ مُسْلِمًا وَأَقِلَّ الضَّحِكَ فَإِنَّ كَثْرَةَ الضَّحِكِ تُمِيتُ الْقَلْبَ
“Wahai Abu Hurairah, jadilah orang yang wara’, maka engkau akan menjadi sebaik-baiknya ahli ibadah. Jadilah orang yang qona’ah (selalu merasa cukup dengan pemberian Allah), maka engkau akan menjadi orang yang benar-benar bersyukur. Sukailah sesuatu pada manusia sebagaimana engkau suka jika ia ada pada dirimu sendiri, maka engkau akan menjadi seorang mukmin yang baik. Berbuat baiklah pada tetanggamu, maka engkau akan menjadi muslim sejati. Kurangilah banyak tertawa karena banyak tertawa dapat mematikan hati.” (HR. Ibnu Majah no. 4217. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Sangat sederhana sekali apa yang disampaikan oleh Ibnul Qayyim mengenai pengertian wara’, beliau cukup mengartikan dengan dalil dari sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Ibnul Qayyim menjelaskan,
وقد جمع النبي الورع كله في كلمة واحدة فقال : من حسن إسلام المرء تركه ما لا يعنيه فهذا يعم الترك لما لا يعني : من الكلام والنظر والاستماع والبطش والمشي والفكر وسائر الحركات الظاهرة والباطنة فهذه الكلمة كافية شافية في الورع
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menghimpun makna wara’ dalam satu kalimat yaitu dalam sabda beliau, “Di antara tanda kebaikan Islam seseorang yaitu meninggalkan hal yang tidak bermanfaat.” Hadits ini dimaksudkan untuk meninggalkan hal yang tidak bermanfaat yaitu mencakup perkataan, pandangan, mendengar, bertindak anarkis, berjalan, berpikir, dan aktivitas lainnya baik lahir maupun batin. Hadits tersebut sudah mencukupi untuk memahami arti wara’.” (Madarijus Salikin, 2: 21).
Dinukil dari Madarijus Salikin (di halaman yang sama), Ibrahim bin Adham berkata,
الورع ترك كل شبهة وترك ما لا يعنيك هو ترك الفضلات
“Wara’ adalah meninggalkan setiap perkara syubhat (yang masih samar), termasuk pula meninggalkan hal yang tidak bermanfaat untukmu, yang dimaksud adalah meninggalkan perkara mubah yang berlebihan.”
Sahl At Tursturiy berkatas, “Seseorang tidaklah dapat mencapai hakikat iman hingga ia memiliki empat sifat: (1) menunaikan amalan wajib dengan disempurnakan amalan sunnah, (2) makan makanan halal dengan sifat wara’, (3) menjauhi larangan secara lahir dan batin, (4) sabar dalam hal-hal tadi hingga maut menjemput.”
Sahl juga berkata, “Siapa yang makan makanan haram dalam keadaan ingin atau tidak, baik ia tahu atau tidak, maka bermaksiatlah anggota badannya. Namun jika makanan yang ia konsumsi adalah halal, maka patuhlah anggota badannya dan akan diberi taufik melakukan kebaikan.” (Dinukil dari Sholahul Ummah fii ‘Uluwwil Himmah, 4: 326)
Yunus bin ‘Ubaid berkata, “Wara’ adalah keluar dari syubhat (perkara yang samar) dan setiap saat selalu mengintrospeksi diri.” (Dinukil dari Sholahul Ummah fii ‘Uluwwil Himmah, 4: 326)
Ibnu Rajab mengutarakan pengertian wara’ dengan mengemukakan hadits,
دع ما يريبك إلى ما لا يريبك
“Tinggalkan hal yang meragukanmu kepada yang tidak meragukanmu.” (HR. An Nasai dan Tirmidzi, shahih kata Syaikh Al Albani)
Ibnu Rajab berkata bahwa sebagian tabi’in berkata,
تركت الذنوب حياء أربعين سنة ، ثم أدركني الورع
“Aku meninggalkan dosa selama 40 tahun lamanya. Akhrinya, aku mendapati sifat wara’.” (Fathul Bari, Ibnu Rajab, Asy Syamilah, 1: 51).
Lihatlah bagaimana sikap Imam Nawawi rahimahullah dalam menyikapi apabila ada keragu-raguan dalam masalah suatu hukum, halal ataukah haram. Beliau berkata,
فَإِذَا تَرَدَّدَ الشَّيْء بَيْن الْحِلّ وَالْحُرْمَة ، وَلَمْ يَكُنْ فِيهِ نَصّ وَلَا إِجْمَاع ، اِجْتَهَدَ فِيهِ الْمُجْتَهِد ، فَأَلْحَقهُ بِأَحَدِهِمَا بِالدَّلِيلِ الشَّرْعِيّ فَإِذَا أَلْحَقَهُ بِهِ صَارَ حَلَالًا ، وَقَدْ يَكُون غَيْر خَال عَنْ الِاحْتِمَال الْبَيِّن ، فَيَكُون الْوَرَع تَرْكه ، وَيَكُون دَاخِلًا فِي قَوْله صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( فَمَنْ اِتَّقَى الشُّبُهَات فَقَدْ اِسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضه )
“Jika muncul keragu-raguan akan halal dan haramnya sesuatu, sedangkan tidak ada dalil tegas, tidak ada ijma’ (konsensus ulama); lalu yang punya kemampuan berijtihad, ia berijtihad dengan menggandengkan hukum pada dalil, lalu jadinya ada yang halal, namun ada yang masih tidak jelas hukumnya, maka sikap wara’ adalah meninggalkan yang masih meragukan tersebut. Sikap wara’ seperti ini termasuk dalam sabda Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Barangsiapa yang selamat dari perkara syubhat, maka ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya.” (Syarh Muslim, 11: 28).
Demikian sedikit ulasan kami mengenai sifat wara’. Moga Allah mudahkan kita termasuk dalam golongan orang-orang yang wara’.
Wallahu waliyyut taufiq.
Wara’ : meninggalkan perkara haram dan syubhat, itu asalnya. Para ulama seringkali memaksudkan wara’ dalam hal meninggalkan perkara syubhat dan perkara mubah yang berlebih-lebihan, juga meninggalkan perkara yang masih samar hukumnya
Syubhat: perkara yang masih samar hukumnya, haram ataukah halal.
@ Sakan 27-Jami’ah Malik Su’ud, Riyadh-KSA, 21 Muharram 1434 H
Baca Juga: Meninggalkan Perkara Syubhat
كُنْ وَرِعًا تَكُنْ أَعْبَدَ النَّاسِ
“Jadilah orang yang wara’ niscaya engkau menjadi manusia yang paling beribadah”
Sesungguhnya orang yang mengenal Rabb-nya dan menempatkan-Nya sebagaimana mestinya, mengagungkan larangan dan syi’ar-syi’ar-Nya, akan melakukan pengagungan sampai kepada sikap hati-hati dari setiap perkara yang bisa menyebabkan kemurkaan Allah Subhanahu wa Ta’ala di dunia maupun di akhirat.
Maka wara’ di sisi-Nya termasuk jenis takut yang membuat seseorang meninggalkan banyak hal yang dibolehkan, jika hal itu menjadi samar atasnya bersama yang halal agar tidak merugikan agamanya.
Di antara tanda yang mendasar bagi orang-orang yang wara’ adalah kehati-hatian mereka yang luar biasa dari sesuatu yang haram dan tidak adanya keberanian mereka untuk maju kepada sesuatu yang bisa membawa kepada yang haram. Dan dalam hal itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ لاَيَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ, فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدْ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ.
“Sesungguhnya yang halal dan yang haram itu jelas. Dan di antara keduanya banyak hal-hal syubhat yang kebanyakan orang tidak mengetahuinya. Barangsiapa yang menjaga diri dari hal-hal yang syubhat maka ia telah membersihkan agama dan kehormatannya.”[1]
Dan barangsiapa yang bertindak berani di tempat-tempat yang diragukan, niscaya bertambahlah keberaniannya terhadap sesuatu yang lebih berat: “Dan sesungguhnya orang yang bercampur keraguan, hampir-hampir ia berani (kepada yang diharamkan).”[2]
Maka wara’ yang sebenarnya adalah seperti yang digambarkan oleh Yunus bin ‘Ubaid rahimahullah: yaitu keluar dari semua yang syubhat dan muhasabah (introfeksi) terhadap diri sendiri di setiap kedipan mata.[3]
Perjalanan kejatuhan berawal dengan satu kali terpeleset, dan semangat terhadap akhiratnya menjadikan di antaranya dan terpelesetlah tameng yang menutupi dan menjaganya. Syaikh al-Qubbari rahimahullah mengisyaratkan kepada pengertian ini dengan katanya: ‘Yang makruh adalah dinding penghalang di antara hamba dan sesuatu yang haram. Maka barangsiapa yang banyak melakukan yang makruh berarti ia menuju kepada yang haram. Dan yang mubah merupakan dinding pemisah di antaranya dan yang dimakruhkan. Maka barangsiapa yang memperbanyak yang mubah niscaya ia menuju kepada yang makruh.’[4] Ibnu Hajar rahimahullah memandang baik perkataannya ini dan ia menambahkan: ‘Sesungguhnya yang halal, sekiranya dikhawatirkan bahwa melakukannya secara mutlak bisa menyeret kepada yang makruh atau haram, semestinya meninggalkannya, seperti memperbanyak yang halal. Sesungguhnya hal itu membutuhkan banyak kerja yang dapat menjatuhkan diri seseorang dalam mengambil yang bukan haknya atau membawa kepada penolakan jiwa. Dan sekurang-kurangnya adalah tersibukkan dari ibadah (maksudnya, tidak ada waktu untuk beribadah, pent.). Hal ini sudah diketahui berdasarkan pengalaman dan disaksikan dengan pandangan mata.[5]
Ciri mendasar pada seseorang yang bersifat wara’ adalah kemampuannya meninggalkan sesuatu yang hanya semata-mata ada keraguan atau syubhat, seperti yang dikatakan oleh al-Khaththabi rahimahullah: ‘Semua yang engkau merasa ragu padanya, maka sifat wara’ adalah menjauhinya.’[6] Imam al-Bukhari rahimahullah mengutip perkataan Hasan bin Abu Sinan rahimahullah: ‘Tidak ada sesuatu yang lebih mudah dari pada sifat wara’: “Tinggalkanlah sesuatu yang meragukanmu kepada sesuatu yang tidak meragukanmu.”[7] Sebagaimana diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
البِرُّ مَا سَكَنَتْ إِلَيْهِ النَّفْسُ وَاطْمَأَنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ وَاْلإِثْمُ مَالَمْ تَسْكُنْ إِلَيْهِ النَّفْسُ وَلَمْ يَطْمَئِنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ –وَإِنْ أَفْتَاكَ الْمُفْتُوْنَ
“Kebaikan adalah sesuatu yang jiwa merasa tenang dan hati merasa tenteram kepadanya, sedangkan dosa adalah sesuatu yang jiwa tidak merasa tenang dan hati tidak merasa tenteram kepadanya, sekalipun orang-orang memberikan berbagai komentar kepadamu.”[8] Dan yang memperkuat hal itu adalah atsar yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asakir rahimahullah secara mursal:
مَا أَنْكَرَهُ قَلْبُكَ فَدَعْهُ
“Sesuatu yang diingkari hatimu, maka tinggalkanlah.”[9]
Orang-orang yang memiliki kedudukan yang tinggi selalu bersikap prefentif untuk diri mereka sendiri dengan berhati-hati dari sebagian yang halal yang bisa membawa kepada sesuatu yang makruh atau haram. Diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
لاَيَبْلُغُ الْعَبْدُ أَنْ يَكُوْنَ مِنَ الْمُتَّقِيْنَ حَتَّى يَدَعَ مَالاَبَأْسَ بِهِ حَذَرًا مِمَّا بِهِ بَأْسٌ
“Seorang hamba tidak bisa mencapai derajat taqwa sehingga ia meninggalkan yang tidak dilarang karena khawatir dari sesuatu yang dilarang.”[10]
Hal ini diperkuat oleh hadits yang lain:
اجْعَلُوْا بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ الْحَرَامِ سِتْرًا مِنَ الْحَلاَلِ…
“Jadikanlah dinding (tirai) yang halal di antara kamu dan yang haram …”[11]
Ibnu al-Qayyim rahimahullah menceritakan pengalamannya bersama Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah: Syaikhul Islam berkata kepadaku pada suatu hari tentang sesuatu yang mubah (boleh): ‘Ini menghalangi kedudukan yang tinggi, sekalipun meninggalkannya bukanlah syarat dalam keselamatan.”[12]
Sebagaimana wara’ meliputi gambaran-gambaran usaha dan hubungan mu’amalah, maka sesungguhnya ia juga mencakup lisan. Sesungguhnya engkau menemukan kebanyakan orang bersegera memberi fatwa, sedangkan mereka tidak mengetahui. Karena itulah, ad-Darimi rahimahullah membuat satu bab yang berbunyi: Menahan diri (bersikap wara’) dari menjawab sesuatu yang tidak ada dalam al-Qur`an dan sunnah.’ Ishaq bin Khalaf rahimahullah memandang sikap wara` dalam ucapan lebih utama daripada sikap wara` dalam hubungan yang berkaitan dengan harta, di mana dia berkata: ‘Wara’ dalam tuturan kata lebih utama daripada emas dan perak…[13]
Di antara renungan Ibnu al-Qayyim rahimahullah dalam hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia menyatakan bahwa sesungguhnya: ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan semua sifat wara’ dalam satu kata, maka beliau bersabda:
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَالاَيَعْنِيْهِ
“Termasuk tanda baik keislaman seseorang, ia meninggalkan hal-hal yang tidak penting baginya.”[14]
Dan di antara hasil yang nampak bagi sikap wara’ bahwa ia memelihara pelakunya dari terjerumus (dalam hal yang dilarang), karena itulah engkau menemukan: Barangsiapa yang melakukan yang dilarang, ia menjadi gelap hati karena tidak ada cahaya wara’, maka ia terjerumus dalam hal yang haram, kendati ia tidak memilih untuk terjerumus padanya. Seperti yang dikatakan oleh Ibnu Hajar rahimahullah.[15] Dan dalam hadits ifki (berita bohong), ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata tentang Zainab radhiyallahu ‘anha, di mana ia menjaga pendengaran dan penglihatannya dari terjerumus dalam perkara yang ia tidak mengetahui: ‘Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menjaganya dengan sifat wara’[16]
Sebagaimana orang yang wara’ memelihara agama dan kehormatannya dari celaan:
فَمَنْ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدْ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ
“…Maka barangsiapa yang menahan diri dari yang syubhat, niscaya ia telah membersihkan agama dan kehormatannya, …”[17]
Ibnu Hajar rahimahullah berkata: ‘Dalam hadits ini menjadi dalil bahwa barangsiapa yang tidak menjaga diri dari yang syubhat dalam usaha dan kehidupannya, berarti ia telah menawarkan dirinya untuk mendapat celaan. Dan dalam hal ini menjadi isyarat untuk memelihara perkara-perkara agama dan menjaga sikap muru`ah.’[18]
Maka apabila wara’ merupakan kedudukan ibadah yang tertinggi:
كُنْ وَرِعًا تَكُنْ أَعْبَدَ النَّاسِ
“Jadilah orang yang wara’ niscaya engkau menjadi manusia paling beribadah.”[19]
Dan jika agama yang paling utama adalah sikap wara’:
خَيْرُ دِيْنِكُمْ الوَرَعُ
“Sebaik-baik agamamu adalah sikap wara’“[20]
Apakah juru dakwah yang beriman tidak mau menaiki puncak tersebut dan menjaga dirinya dari terjatuh dan terjerumus. Dia harus menjaga diri dan berhati-hati agar amal ibadahnya tidak gugur sedangkan dia tidak mengetahui.
Maka sesungguhnya banyak para sahabat yang takut dari sifat nifaq terhadap diri mereka, dan Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan alasan tersebut dengan penjelasanannya: Rasa takut mereka dari sifat nifaq tidak berarti adanya sifat itu pada diri mereka, bahkan hal itu merupakan sikap wara’ dan taqwa yang luar biasa dari mereka radhiyallahu ‘anhum jami’an.
Seperti inilah sifat mereka, maka hendaklah kita melakukan intropeksi terhadap diri kita dan menimbang amal perbuatan kita sendiri.
[Disalin dari صفة الورع Penulis Mahmud Muhammad al-Khazandar, Penerjemah : Team Indonesia. Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad. Maktab Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah. IslamHouse.com 2008 – 1429] ______ Footnote [1] HR. al-Bukhari, kitab al-Iman, no. 52, dan Muslim, kitab al-Musaqah, no. 1599 dan 107. [2] Sunan Abu Daud, kitab buyu’ (jual beli), bab ke-3 no. 3329 [3] Tahdzib Madarijus Salikin, hal. 290. [4] Fath al-Bari 1/127, saat menjelaskan hadits no. 52. dari kitab al-Iman, bab ke-39. [5] Fath al-Bari 1/127 [6] Fath al-Bari 4/293, dari syarah bab ke-3, dari kitab Buyu’ [7] Shahih al-Bukhari, dari judul bab ke-3, dari kitab al-Iman [8] Shahih al-Jami’ no. 2881 (Shahih). [9] Shahih al-Jami’ no. 5564 (Shahih) [10] HR. at-Tirmidzi dan ia menyatakan hasan. [11] Shahih al-Jami’ no. 152 (Shahih). [12] Tahdzib Madarijus salikin hal. 292. [13] Tahdzib Madarijus salikin hal. 290. [14] HR. at-Tirmidzi no. 2318 (Hasan). [15] Fath al-Bari 1/127-128, saat menerangkan bab ke-39 dari kitab al-Iman. [16] Shahih al-Bukhari, kitab Maghazi, bab ke-34, hadits no. 4141. [17] Shahih al-Bukhari, kitab al-Iman, bab ke-39, hadits no. 52. [18] Fath al-Bari 1/127. [19] Shahih al-Jami’ no. 4580 (Shahih). [20] Shahih al-Jami’ no. 3308.
Konsep Sapta Loka Sapta Petala
Para ahli tata surya modern telah mengungkapkan bahwa terdapat beberapa planet. Dalampandangan agama Hindu juga terdapat beberapa planet. Pandangan aliran Surya-Sidhanta menyebutkan terdapat tujuh planet, yakni planet Aditya, Soma, Budha, Sukra, Angaraka, Brihaspati, dan Saniscara. Jika dikaitkan dengan nama planet-planet modern, akan tampak, sebagai berikut. 1. Planet Matahari dalam agama Hindu dikenal dengan nama Aditya. 2. Planet Bumi dalam agama Hindu dikenal dengan nama Soma. 3. Planet Merkurius dalam agama Hindu dikenal dengan nama Budha. 4. Planet Venus dalam agama Hindu dikenal dengan nama Sukra. 5. Planet Mars dalam agama Hindu dikenal dengan nama Angaraka. 6. Planet Jupiter dalam agama Hindu dikenal dengan nama Brihaspati. 7. Planet Saturnus dalam agama Hindu dikenal dengan nama Saniscara. Planet Neptunus dan Uranus tidak disebutkan dalam pandangan aliran Surya Sidhanta. Aliran ini menyebut adanya planet Rahu dan Ketu. Kedua planet yang terakhir disebutkan aliran Surya Sidhanta tidak dapat disamakan dengan Neptunus dan Uranus (Wikana, 2010:108). Planet-planet dalam agama Hindu sering disebut Brahmānda. Brahmānda dalam kitab Pūraṇa dijelaskan sangat banyak jumlahnya. Selain planet-planet tersebut, agama Hindu mengenal loka-loka atau alam-alam. Menurut pandangan agama Hindu, terdapat 14 loka atau alam, yakni 7 lapisan loka ke atas dan 7 lapisan loka ke bawah. 96 Kelas III SD
BTujuh lapisan alam ke atas disebut dengan sapta loka, yakni: ka a Brahmā loka Tapa loka Jana loka Maha loka Svarga loka huvar lo Bhur loka Tujuh lapisan alam ke bawah disebut dengan sapta patala, yakni: Atala Vitala Sutala Talatala Mahatala Rasatal Patala Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti 97
Brigjen TNI Rikas Hidayatullah, S.E., M.M.DANREM 043/GATAM
Kolonel Inf Enjang, S.I.P., M.Han.KASREM 043/GATAM
Letkol Inf Harizoni Pulungan, S.E.KASI INTEL
Kolonel Inf Gede SetiawanKASI OPS
Kolonel Arh Sujeidi Faisal, S.T., M.Han.KASI PERS
Kolonel Kav Dwi Desi Joko Wicaksono, Psc., M.Sc.
Kolonel Inf Jaka Sutanta, S.Sos.KASI TER
Kolonel Arh Burhan Fajari Arfian, S.Sos.KASIREN
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Gedung Sapta Pesona adalah sebuah gedung perkantoran yang terletak di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Indonesia. Gedung ini merupakan kantor dari Kementerian Pariwisata Indonesia.
REPUBLIKA.CO.ID,PADANG -- Wara berarti meninggalkan perkara haram dan syubhat (perkara samar). Jumhur ulama seringkali mengartikan wara ini dalam hal meninggalkan perkara syubhat dan perkara mubah yang berlebih-lebihan, dan meninggalkan perkara yang masih samar hukumnya.
Ibnu Taimiyah menjelaskan sikap wara secara jelas dalam kitabnya Majmu’ Fatawa, bahwa wara adalah, “Sikap hati-hati dari terjerumus dalam perkara yang berakibat bahaya, yaitu yang jelas haramnya atau yang masih diragukan keharamannya. Dalam meninggalkan perkara tersebut tidak ada manfaat yang lebih besar dari mengerjakannya.“ (Majmu’ Fatawa, 10/511).
Terdapat banyak orang yang tidak mengetahui tentang perkara syubhat tersebut. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam penggalan sabda Rasulullah Saw. “Perkara halal sudah jelas dan yang haram pun sudah jelas. Di antara keduanya (halal dan haram) ada perkara syubhat yang banyak orang tidak mengetahuinya” (HR Bukhari dan Muslim).
Rasulullah melanjutkan dalam sabdanya, bahwa siapa yang menjauhi perkara syubhat ini maka ia telah menjaga agama dan kehormatannya. Siapa yang terjerumus dalam perkara syubhat ini seperti seorang gembala yang menggembalakan ternaknya di sekitar tanah larangan yang hampir menjerumuskannya.
“Ketahuilah setiap raja memiliki tanah larangan dan tanah larangan Allah di bumi ini adalah perkara-perkara yang diharamkan-Nya,” lanjut sabda tersebut.
Selain itu, Rasulullah Saw juga pernah menyampaikan nasihat berharga pada Abu Hurairah terkait sikap wara, dalam sebuah penggalan hadis shahih dijelaskan, “Wahai Abu Hurairah, jadilah orang yang wara, maka engkau akan menjadi sebaik-baiknya ahli ibadah” (HR Ibnu Majah).
Ibnu Rajab menjelaskan pengertian wara lebih sederhana dalam bentuk saran terhadap setiap Muslim. Ia mengemukakan sebuah hadis, “Tinggalkan hal yang meragukanmu kepada yang tidak meragukanmu” (HR An Nasai dan Tirmidzi).
Untuk meninggalkan dosa tentu tidak mudah, sehingga kita membutuhkan kesungguhan niat. Para tabiin saja membutuhkan waktu selama 40 hari dalam meninggalkan dosa. Hal ini disampaikan Ibnu Rajab sebagaima yang dikatakan sebagian tabiin, “Aku meninggalkan dosa selama 40 tahun lamanya. Akhrinya, aku mendapati sifat wara” (Fathul Bari, Ibnu Rajab, Asy Syamilah, 1: 51).
Sementara, Imam Nawawi rahimahullah menyampaikan suatu cara dalam menyikapi keragu-raguan dalam masalah hukum, baik halal ataukah haram. Imam Nawawi berkata:
“Jika muncul keragu-raguan akan halal dan haramnya sesuatu, sedangkan tidak ada dalil tegas, tidak ada ijma, lalu yang punya kemampuan berijtihad, ia berijtihad dengan menggandengkan hukum pada dalil, lalu jadinya ada yang halal. Namun, jika ada yang masih tidak jelas hukumnya, maka sikap wara adalah meninggalkan yang masih meragukan tersebut."
Penjelasan Imam Nawawi tersebut sangat menggambarkan sikap kehati-hatian dalam hukum Islam. Kehati-hatian merupakan tanda yang mendasar bagi orang-orang yang wara. Karena itu, setiap Muslim harus selalu berhati-hat dari sesuatu yang haram, dan pernah berani untuk maju kepada sesuatu yang bisa membawa kepada yang haram.
Dengan demikian, jelaslah bahwa sikap wara adalah sikap meninggalkan semua yang meragukan dan menghilangkan semua keburukan dalam diri kita. Seseorang tidak dikatakan memiliki sikap wara sampai menjauhi perkara yang masih samar hukumnya lantaran takut terjerumus dalam keharaman.
Dalam kitab Shahih Bukhari dari Aisyah RA diriwayatkan bahwa Abu Bakar juga pernah memuntahkan makanan yang diberikan oleh pembantunya. Hal tersebut dilakukan setelah pembantunya memberitahu bahwa makanan tersebut berasal dari upah yang didapatkannya dari hasil meramal seseorang ketika jaman jahiliyah.
Sikap wara seperti yang dilakukan Abu Bakar tersebut dapat menjadi contoh bagi kita dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Dengan begitu, kita dapat memiliki hati yang bersih, dan bertemu dengan Tuhan dalam keadaan yang bersih pula.
sumber : Dok Republika